SEJARAH
Pada awalnya, jemaat Gmit Nifukani berbakti bersama di jemaat Hosana Pusu yang dikenal dengan jemaat Nifukani. Pada saat itu gereja Imanuel nifukani masih dalam perkumpulan jemaat Nifukani. Namun pada suatu saat mereka rapat untuk pemasangan gereja dan ada perselisihan pendapat antara bapak Samuel Bana dan bapak Kiri Nius dari Pusu bersama dengan bapak Yahya Selan dan bapak Thobias Selan dari Nifukani. Disamping itu juga, mereka berselisih karna nama gereja.
Dari bapak Samuel Bana dan dari bapak Kiri Nius perwakilan dari jemaat pusu setuju kalau gereja tersebut dinamai gereja Pusu sedangakan bapak Yahya Selan dan bapak Thobias Selan perwakilan dari jemaat Nifukani setuju kalau gereja tersebut dinamai gereja Nifukani. Dari situlah terjadinya perselisihan pendapat diantara mereka dan suasana semakin memanas yang akhirnya membuat bapak perwakilan jemaat Pusu mengusir jemaat perwakilan dari jemaat Nifukani yang membuat mereka tidak bisa berbakti bersama-sama lagi.
Dan pada saat itu mereka langsung pulang bersama-sama dengan beberapa keluarga. Dan pada saat itu mereka langsung pulang bersama-sama dengan beberapa keluarga dengan jumlah sebanyak 10 orang yaitu bapak Thobias Selan bersama dengan istri, bapak Yahya Selan bersama dengan istri, bapak Timotius Nenosaet bersama dengan istri, bapak Filipus Nenosaet bersama dengan istri dan bapak Tera Talan bersama istri.
Pada saat itu juga mereka langsung menginformasikan kejadian tersebut kepada bapak Samuel Selan dan dengan begitu mereka mengambil keputusan bersama-sama dengan bapak Samuel Selan untuk membuat gereja mereka sendiri yaitu gereja Nifukani dan mereka juga kembali datang dan minta Bapak Timotius Nenosaet untuk meminta kesediaan Bapak menggunakan pondoknya sebagai tempat untuk mereka berbakti bersama-sama dan hal itu juga disetujui oleh Bapak Timotius Nenosaet.
Suatu pondok yang beratap alang-alang ukurannya 7 × 8 m dan terdiri dari 12 tiang induk dipondok inilah, mereka mulai berbakti bersama pada hari Minggu tanggal 22 November 1972 jam 9 pagi. Dari kesepakatan tersebut Bapak Samuel Selan langsung mengambil okomama(ritual adat) yang didalamnya berisi uang guna menyerahkan pelayanan ini kepada bapak Filipus Nenosaet untuk memimpin kebaktian pada setiap kebaktian minggu dan pada saat itu juga bapak Filipus Nenosaet masih aktif di gereja sebagai diaken Jemaat Pusu sebelum mereka berpisah.
Hari demi hari Minggu demi Minggu bulan demi bulan tahun demi tahun berganti kurang lebih 2 sampai dengan 3 tahun jumlah jemaat bertambah dikarenakan banyak yang sudah pindah ke gereja Nifukani termasuk Bapak Boas Talan bersama keluarga, Lukas taek bersama keluarga, Abraham Selan bersama keluarga datang untuk bergabung dan berbakti bersama di pondok kecil itu.
Jumlah jemaat semakin bertambah dan banyak dari mereka sepakat untuk memindahkan tempat kebaktian ini ke lokasi yang baru dan lokasi yang baru ini berada di tempat yang bernama Fatu Tole yang berarti batu yang berdiri tegak lurus. Batu itu masih ada sampai sekarang dan mereka membangun rumah darurat untuk mereka boleh berbakti bersama-sama.
Dari kebaktian di rumah darurat ini juga jumlah jemaat semakin bertambah banyak dan mereka memutuskan untuk membangun gereja yang ada sampai sekarang ketika bangunan gereja telah dibangun mereka langsung memilih majelis yang terdiri dari 4 orang penatua dan 8 orang diaken yang jumlah keseluruhannya adalah 12 orang dan pada saat itu Bapak Filipus Nenosaet masih tetap menjadi penanggung jawab gereja